Beranda | Artikel
Hukum Shalawat Diiringi Rebana
Rabu, 6 April 2011

Pertanyaan:

Saya ingin menanyakan masalah amaliah yang membingungkan, yaitu masalah shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

  1. Apakah shalawat ini banyak macamnya?
  2. Bagaimana cara mengamalkan shalawat yang benar berdasarkan sunnah Rasulullah? Apakah dilakukan sendiri atau berjamaah, dengan suara keras atau sirr (pelan)?
  3. Bolehkah sambil diiringi rebana (alat musik)?

Jawaban:

Alhamdulillah, sebelum menjawab pertanyaan saudara, kami ingin menyampaikan, bahwa amal ibadah akan diterima oleh Allah jika memenuhi syarat-syarat diterimanya ibadah. Yaitu ibadah itu dilakukan oleh orang yang beriman, dengan ikhlas dan sesuai Sunnah (ajaran) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Akan tetapi pada zaman ini, alangkah banyaknya orang yang tidak mempedulikan syarat-syarat di atas. Maka, pertanyaan yang saudara ajukan ini merupakan suatu langkah kepedulian terhadap Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah selalu memberi taufiq kepada kita di atas jalan yang lurus.

Perlu kami sampaikan, bahwasanya shalawat kepada Nabi merupakan salah satu bentuk ibadah yang agung. Tetapi, banyak sekali penyimpangan dan bid’ah yang dilakukan banyak orang seputar shalawat Nabi. Berikut ini jawaban kami terhadap pertanyaan saudara.

1. Shalawat Nabi memang banyak macamnya. Namun, secara global dapat dibagi menjadi dua.

Pertama, Shalawat yang disyariatkan. Yaitu shalawat yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabatnya.

Bentuk shalawat ini ada beberapa macam. Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Shifat Shalat Nabi menyebutkan ada tujuh bentuk shalawat dari hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ustadz Abdul Hakim bin Amir bin Abdat hafizhahullah di dalam kitab beliau Sifat Shalawat dan Salam membawakan delapan riwayat tentang sifat shalawat Nabi.

Di antara bentuk shalawat yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah

اللَّهُمَّ صَلِّى عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى (إِبْرَاهِيْمَ وَعَلى) آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ (فِي رِوَايَـةٍ: وَ بَارِكْ) عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى (إِبْرَاهِيْمَ وَ عَلَى) آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

(Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad, kamaa shallaita ‘ala Ibrahim wa ‘ala aali Ibrahim, inna-Ka Hamidum Majid. Allahumma barik (dalam satu riwayat, wa barik, tanpa Allahumma) ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad, kama brakta ‘ala Ibrahim wa ‘ala ali Ibrahim, inna-Ka Hamiidum Majid).

“Ya Allah. Berilah (yakni, tambahkanlah) shalawat (sanjungan) kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi shalawat kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia. Ya, Allah. Berilah berkah (tambahan kebaikan) kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi berkah kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia.” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya. Lihat Shifat Shalat Nabi, hal. 165-166, karya Al-Albani, Maktabah Al-Ma’arif).

Dan termasuk shalawat yang disayariatkan, yaitu shalawat yang biasa diucapkan dan ditulis oleh Salafush Shalih.

Syaikh Abdul Muhshin bin Hamd Al-‘Abbad hafizhahullah berkata, Salafush Shalih, termasuk para ahli hadits, telah biasa menyebut shalawat dan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebut (nama) beliau, dengan dua bentuk yang ringkas, yaitu:

صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ

(shallallahu ‘alaihi wa sallam)

dan

عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ

(‘alaihish shalaatu was salaam).

Alhamdulillah, kedua bentuk ini memenuhi kitab-kitab hadits. Bahkan, mereka menulis wasiat-wasiat di dalam karya-karya mereka untuk menjaga hal tersebut dengan bentuk yang sempurna. Yaitu menggabungkan antara shalawat dan permohonan salam atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Fadhlush Shalah ‘Alan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, hal. 15, karya Syaikh Abdul Muhshin bin Hamd Al-‘Abbad).

Kedua, Shalawat yang tidak disyariatkan.

Yaitu shalawat yang datang dari hadits-hadits dha’if (lemah), sangat dha’if, maudhu’ (palsu), atau tidak ada asalnya. Demikian juga shalawat yang dibuat-buat (umumnya oleh Ahli Bid’ah), kemudian mereka tetapkan dengan nama shalawat ini atau shalawat itu. Shalawat seperti ini banyak sekali jumlahnya, bahkan sampai ratusan. Contohnya, berbagai shalawat yang ada dalam kitab Dalailul Khairat Wa Syawariqul Anwar Fi Dzikrish Shalah ‘Ala Nabiyil Mukhtar, karya Al-Jazuli (wafat th. 854 H). Di antara shalawat bid’ah ini ialah shalawat Basyisyiyah, shalawat Nariyah, shalawat Fatih, dan lain-lain. Termasuk musibah, bahwa sebagian shalawat bid’ah itu mengandung kesyirikan (Lihat Mu’jamul Bida’, hal. 345-346, karya Syaikh Raid bin Shabri bin Abi ‘Ulfah; Fadhlush Shalah ‘Alan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, hal. 20-24, karya Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-‘Abbad; Minhaj Al-Firqah An-najiyah, hal. 116-122, karya Syaikh Muhammad Jamil Zainu; Sifat Shalawat & Salam Kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, hal. 72-73, karya Ustadz Abdul hakim bin Amir Abdat).

2. Cara mengamalkan shalawat yang benar berdasarkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagai berikut:

a). Shalawat yang dibaca adalah shalawat yang disyariatkan, karena shalawat termasuk dzikir, dan dzikir termasuk ibadah. Bukan shalawat bid’ah, karena seluruh bid’ah adalah kesesatan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dzikir-dzikir dan doa-doa termasuk ibadah-ibadah yang paling utama. Sedangkan ibadah dibangun di atas ittiba’ (mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Tidak seorangpun berhak mensunnahkan dari dzikir-dzikir dan doa-doa yang tidak disunnahkan (oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Lalu menjadikannya sebagai kebiasaan yang rutin, dan orang-orang selalu melaksanakan. Semacam itu termasuk membuat-buat perkara baru dalam agama yang tidak diizinkan Allah. Berbeda dengan doa, yang kadang-kadang seseorang berdoa dengannya dan tidak menjadikannya sebagai sunnah (kebiasaan).” (Dinukil dari Fiqhul Ad’iyah Wal Adzkar, 2/49, karya Syaikh Abdur Razaq bin Abdul Muhshin Al-Badr).

b). Memperbanyak membaca shalawat di setiap waktu dan tempat terlebih-lebih pada hari Jumat, atau pada saat disebut nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan lain-lain tempat yang disebutkan di dalam hadits-hadits yang shahih.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّـى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرًا

“Barangsiapa memohonkan shalawat atasku sekali, Allah bershalawat atasnya sepuluh kali.” (HR. Muslim, no. 408, dari Abu Hurairah).

c). Tidak menentukan jumlah, waktu, tempat, atau cara, yang tidak ditentukan oleh syariat.

Seperti menentukan waktu sebelum beradzan, saat khatib Jumat duduk antara dua khutbah, dan lain-lain.

d). Dilakukan sendiri-sendiri, tidak secara berjamaah.

Karena membaca shalawat termasuk dzikir dan termasuk ibadah, sehingga harus mengikuti Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sepanjang pengetahuan kami, tidak ada dalil yang membenarkan ber-shalawat dengan berjamaah. Karena, jika dilakukan berjamaah, tentu dibaca dengan keras, dan ini bertentangan dengan adab dzikir yang diperintahkan Allah, yaitu dengan pelan.

e). Dengan suara sirr (pelan), tidak keras.

Karena membaca shalawat termasuk dzikir. Sedangkan di antara adab berdzikir, yaitu dengan suara pelan, kecuali ada dalil yang menunjukkan (harus) diucapkan dengan keras.

Allah berfirman,

وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِفْيَةً وَدُونَ الْجَهْرِمِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَاْلأَصَالِ وَلاَتَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ

“Dan dzikirlah (ingatlah, sebutlah nama) Rabb-mu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf: 205).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Oleh karena itulah, Allah berfirman,

وَدُونَ الْجَهْرِمِنَ الْقَوْلِ

(dan dengan tidak mengeraskan suara), demikianlah, dzikir itu disukai tidak dengan seruan yang keras berlebihan.” (Tafsir Ibnu Katsir).

Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Ini menunjukkan bahwa meninggikan suara dalam berdzikir (adalah) terlarang.” (Tafsir Al-Qurthubi, 7/355).

Muhammad Ahmad Lauh berkata, “Di antara sifat-sifat dzikir dan shalawat yang disyariatkan, yaitu tidak dengan keras, tidak mengganggu orang lain, atau mengesankan bahwa (Dzat) yang dituju oleh orang yang berdzikir dengan dzikirnya (berada di tempat) jauh, sehingga untuk sampainya membutuhkan dengan mengeraskan suara.” (Taqdisul Asykhas Fi Fikrish Shufi, 1/276, karya Muhammad Ahmad Lauh).

Abu Musa Al-Asy’ari berkata,

لَمَّا غَزَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْبَرَ أَوْ قَالَ لَمَّا تَوَجَّهَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشْرَفَ النَّاسَ عَلَى وَادَ فَرَفَعُوا اَصْوَاتَهُمْ بِالتَّكْبِيْرِ اللهُ أَكْبْرُ اَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لاَ لاَ تَدْعُونَ اَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا إِنَّكُمْ تَدْعُوا سَـمِيْعًا قَرِيْيًا وَهُوَ مَعَكُمْ وَأَنَّا خَلْفَ دَابَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعَنِي وَأَنَا أَقُولُ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ فَقَالَ لِي يَـا عَبْدَاللهِ بْنَ قَيْسٍ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى كَلِمَةٍ مِنْ كَنْزٍ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ قُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ فَدَاكَ أَبَـِي وَأُمِّي قَالَ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَ بِالله

“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi atau menuju Khaibar, orang-orang menaiki lembah, lalu mereka meninggikan suara dengan takbir: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaaha illa Allah. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pelanlah, sesungguhnya kamu tidaklah menyeru kepada yang tuli dan yan tidak ada. Sesungguhnya kamu menyeru (Allah) Yang Maha Mendengar dan Mahadekat, dan Dia bersama kamu (dengan ilmu-Nya, pendengarAn-Nya, penglihatAn-Nya, dan pengawasAn-Nya -pen.).” Dan saya (Abu Musa) di belakang hewan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mendengar aku mengatakan, ‘Laa haula wa laa quwwata illa billah.’ Kemudian beliau bersabda kepadaku, ‘Wahai, Abdullah bin Qais (Abu Musa).’ Aku berkata, ‘Aku sambut panggilanmu, wahai Rasulullah,’ Beliau bersabda, ‘Maukah aku tunjukkan kepadamu terhadap satu kalimat, yang merupakan simpanan di antara simpanAn-simpanan surga?’ Aku menjawab, ‘Tentu, wahai Rasulullah. Bapakku dan ibuku sebagai tebusanmu.’ Beliau bersabda, ‘Laa haula wa laa quwwata illa billah.’” (HR. Bukhari no. 4205; Muslim, no. 2704).

3. Membaca shalawat tidak boleh sambil diiringi rebana (alat musik), karena hal ini termasuk bid’ah. Perbuatan ini mirip dengan kebiasaan yang sering dilakukan oleh orang-orang Shufi. Mereka membaca qasidah-qasidah atau sya’ir-sya’ir yang dinyanyikan dan diiringi dengna pukulan stik, rebana, atau semacamnya. Mereka menyebutnya dengan istilah sama’ atau taghbiir.

Berikut ini di antara perkataan ulama Ahlus Sunnah yang mengingkari hal tersebut.

Imam asy-Syafi’i berkata, “Di Iraq, aku meninggalkan sesuatu yang dinamakan taghbiir (sejenis syair berisi anjuran untuk zuhud di dunia yang dinyanyikan oleh orang-orang Shufi dan sebagian hadirin memukul-mukulkan kayu pada bantal atau kulit sesuai dengan irama lagunya). (Yaitu) perkara baru yang diada-adakan oleh Zanadiqah (orang-orang zindiq; menyimpang), mereka menghalangi manusia dari Al-Quran.” (Riwayat Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis; Al-Khalal dalam Amar Ma’ruf, hal. 36; dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 9/146. Dinukil dari kitab Tahrim Alat ath-Tharb, hal. 163).

Imam Ahmad ditanya tentang taghbiir, beliau menjawab, “Bid’ah.” (Riwayat Al-Khallal. Dinukil dari kitab Tahrim Alat ath-Tharb, hal. 163).

Imam ath-Thurthusi tokoh ulama Malikiyah dari kota Qurthubah (wafat 520 H); beliau ditanya tentang sekelompok orang (yaitu orang-orang Shufi) di suatu tempat yang membaca Al-Quran, lalu seseorang di antara mereka menyanyikan syair, kemudian mereka menari dan beroyang. Mereka memukul rebana dan meminkan seruling. Apakah menghadiri mereka itu halal atau tidak? (Ditanya seperti itu) beliau menjawab, “Jalan orang-orang Shufi adalah batil dan sesat. Islam itu hanyalah kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Adapun menari dan pura-pura menampakkan cinta (kepada Allah), maka yang pertama kali mengada-adakan adalah kawAn-kawan Samiri (pada zaman Nabi Musa). Yaitu ketika Samiri membuatkan patung anak sapi yang bisa bersuara untuk mereka, lalu mereka datang menari di sekitarnya dan berpura-pura menampakkan cinta (kepada Allah). Tarian itu adalah agama orang-orang kafir dan para penyembah anak sapi. Adapun majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya penuh ketenangan, seolah-olah di atas kepala mereka dihinggapi burung. Maka, seharusnya penguasa dan wakil-wakilnya melarang mereka menghadiri masjid-masjid dan lainnya (untuk menyanyi dan menari -pen.) Dan bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tidaklah halal menghadiri mereka. Tidak halal membantu mereka melakukan kebatilan. Demikian ini jalan yang ditempuh (Imam) Malik, asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad dan lainnya dari kalangan imam-iumam kaum muslimin.” (Dinukil dari kitab Tahrim Alat ath-Tharb, hlm. 168-169).

Imam Al-Hafizh Ibnu Ash-Shalaah, imam terkenal penulis kitab Muqaddimah ‘Ulumil Hadits (wafat tahun 643 H); beliau ditanya tentang orang-orang yang menghalalkan nyanyian dengan rebana dan seruling, dengan tarian dan tepuk-tangan. Dan mereka menganggapnya sebagai perkara halal dan qurbah (perkara yang mendekatkan diri kepada Allah), bahkan (katanya sebagai) ibadah yang paling utama. Maka beliau menjawab, “Mereka telah berdusta atas nama Allah Ta’ala. Dengan pendapat tersebut, mereka telah mengiringi orang-orang kebatinan yang menyimpang. Mereka juga menyelisihi ijma’. Barangsiapa yang menyelisihi ijma’, (ia) terkena ancaman firman Allah,

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَاتَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa yang menentang rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia keadalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115). (Fatawa Ibnu ash-Shalah, 300-301. Dinukil dari kitab Tahrim Alat ath-Tharb, hal. 169).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dan telah diketahui secara pasti dari agama Islam, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa salalm tidak mensyariatkan kepada orang-orang shalih dan para ahli ibadah dari umat beliau, agar mereka berkumpul dan mendengarkan bait-bait yang dilagukan dengan tepuk-tangan, atau pukulan dengan kayu (stik), atau rebana. Sebagaimana beliau tidak membolehkan bagi seorangpun untuk tidak mengikuti beliau, atau tidak mengikuti apa yang ada pada Al-Kitab dan Al-Hikmah (As-Sunnah). Beliau tidak membolehkan, baik dalam perkara batin, perkara lahir, untuk orang awam, atau untuk orang tertentu.” (Mahmu’ Fatawa, 11/565. Dinukil dari kitab Tahrim Alat ath-Tharb, hal. 165).

demikianlah penjelasan kami, semoga menghilangkan kebingungan saudara.
Alhamdulillah Rabbil ‘alamin, washalatu wassalaamu ‘ala Muhammad wa ‘ala ahlihi wa shahbihi ajma’in.

Sumber: Majalah As-Sunnah, Edisi 12 Tahun VII, 1424 H – 2003 M
Dipublikasikan oleh www.KonsultasiSyariah.com dengan pengubahan tata bahasa seperlunya.
Artikel www.konsultasisyariah.com

🔍 Doa Ziarah Kubur Sunnah, Asal Usul Suku Quraisy, Liang Lahat Menurut Islam, Arti Mimpi Sunat, Hukum Bercerai, Download Ebook Islami Pdf

 

Flashdisk Video Cara Shalat dan Bacaan Shalat

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO CARA SHOLAT, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28


Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/4122-hukum-shalawat-di-iringi-rebana.html